Mardo
Cp. Kesenyapan
Yang Pecah di Sungai Kanan
Kabut pagi
yang membias putih
melingkupi desa Martapotan. Desa yang
pada sisi kanan
mengalir sungai putih
jernih serta segar
dengan batu-batu bertebaran
padanya, juga pasir
putih sepanjang tepinya, dan
di dalam sungai
itu hidup berbagai
jenis ikan, udang, kerang, remis serta
lokan. Sungguh kekayaan
alam yang tidak
terhingga diperuntukkan bagi
penduduk yang menetap
sepanjang lingkungan sungai.
Pagi
berkabut seperti itu
serta udara yang
berhembus menyingkap selimut
gadis kecil yang
tengah terlelap dengan
jemari di bawah pipi. Uchhh _ gadis kecil itu menggeliat
lantas perlahan membuka
matanya, hah! sudah
pagi_,bagai disentak
ia turun beranjak
menyingkap gorden pintu. Sepi. Cepat ia ke
dapur mengambil ember
kecil tempat perlengkapan
mandi, menyambar handuk yang
tersangkut di jemuran
lantas hup melompat dari
undakan tangga dapur
ke bawah.
“
Mardo mau kemana?”
Ups
_ suara ibu, ia menoleh
dan tampak ibu
tengah mengeluarkan sebagian
tubuhnya dari pintu
dapur menoleh kearahnya.
“ Ke sungai
Bu mandi.”
“
Hei, bukankah biasanya mandi
di perigi.”
“
Sekali ini aku
mau mandi di sungai
Bu.”
Gadis kecil
itu serta merta
lari meninggalkan ibu
yang setengah
terbengong sejak
kapan Mardo tau
mandi di sungai? anak itu
telah dibiasakannya mandi
pada sumur yang
tak jauh dari
rumah, bayangan tubuh kecilnya
berkelebat sepanjang jalan
setapak, ibu serta merta
menyusul. Ibu selalu cemas jika
Mardo pergi ke sungai
apa lagi mandi
di pagi seperti ini, padahal
anak-anak seusia Mardo
sangat akrab dengan
sungai Kanan nama
sungai itu. Setiap hari
selalu ada saja
anak-anak yang bermain
dan mandi di sana. Sungai Kanan
menjadi tempat bermain
yang mengasyikan. Suara anak-anak
yang berteriak riuh
sampai ke tengah desa, mereka
bermain pasir, berenang, lomba menyelam, lomba perahu, lomba
keberanian melompat dari
atas pohon yang
tumbuh di tepi sungai. Lelah
bermain anak-anak itu
ramai-ramai menangkap ikan
di bagian lubuk
yang banyak ikan
besarnya,atau memburu udang
di bawah batu, remis, lokan, kerang apa
saja yang mudah
di dapat, menghidupkan api dan
membakar ikan di sana. Sangat riang
dan menyenangkan, tapi ibu
tidak ingin Mardo
menjadi bagian anak-anak
itu, ia selalu was-was
jika Mardo ke
sungai.
Ugh ugh_ nafas
Mardo terenggah-engah saat
kakinya menginjak tepian
sungai yang
berpasir halus, matanya menatap
ke sebrang, sepi dan sunyi
hanya gemericik air serta
kecipak ikan. Hening sampai
sebuah suara nyaris
memutuskan jantungnya.
“Anak kurang
ajar!!! lebih baik kau
mati tenggelam sana
dari pada
menyusahkan orang
tua!”
Dan apa
itu yang bergulingan
meluncur sangat cepat
dan Byurrr
seketika air
berpencaran ke segala penjuru?Mardo
tercekat mendekap dada, meski
masih berkabut tapi
jelas ada seseorang
yang kini timbul
tenggelam terbawa arus, belum
hilang rasa terkejutnya
mendadak sesosok tubuh
melewatinya dan terjun berenang
mengejar tubuh yang
timbul tenggelam terbawa
arus. Mardo tak berkedip
menyaksikan kejadian di sungai
Kanan yang sangat
mendebarkan.
Mardo meremas-remas
jemarinya sembari meneriaki
laki-laki yang basah kuyup sehabis
terjun menarik dua
tubuh ke tepi. Tampak ibu
berusaha memberikan pertolongan, sedang lelaki
tegap di sebelahnya termanggu-manggu menyesali
tindakan tak terkontrol
akibat kemarahan tidak
berhingga.
“
Apa yang
abang lakukan tadi
sungguh keterlaluan! Aku harap
tidak
akan terulang
lagi! bersabarlah! mereka hanya
anak-anak.”
Suara ibu di
tekan, pertanda kemarahannya pada
laki-laki itu.
“Aku khilap….maafkan ayah
nak.”
Ia
dekap kepala anaknya
yang kini terisak-isak
di pelukan ayahnya.
Dan
Mardo melebarkan matanya, itu
pemandangan yang sangat
menggetarkan perasaan, ia
menggigit bibir.
“
Ra, Kara kamu
baik-baik saja kan?”
Mardo menyentuh
pundak teman sebangkunya
yang basah kuyup
dan baru saja
muntah karena terlalu
banyak menelan air, hiks
hiks hiks….Kara
terisak-isak, tak berdaya di rengkuhan
ibu.
“Dia baik-baik
saja! kami pulang
yaa, oia Mardo tolong
mintakan ijin pada bu
guru ya.”
I-iya Paman, ta-tapi jangan
memarahi temanku lagi
ya.
Paman Pangga
melebarkan bibirnya,” Asal
temanmu bertingkah laku
baik dan terpuji
paman tidak akan
memarahinya.”
“
Heh kau
ini, jangan menasehati
orang tua!”
Ibu
menyentuh dagunya.
Ia
dan Ibu memandangi
ayah dan anaknya
itu menyebrang
naik ke
tepi dan menghilang
ke dalam kerimbunan pohon-pohon.
Bu.
Suara Mardo
membuat ibu tersadar.
“
Ibu keren sekali
loh, luar biasa.”
Kenapa?
“
Ibu adalah malaikat
penyelamat Kara.”
Matanya memandangi
ibu berbinar-binar.
“ Ah kau bisa
saja.”Tapi tak urung
wajah ibu memerah
karena senang mendengar
pujian anaknya.
“
Biasa saja, ibu dulu
selalu juara pertama
lomba berenang.”
Mata
ibu berkerjap-kerjap, dagunya mendongak
keatas sembari menyabuni tubuhnya dan
Mardo.
“
Oh, Mardo baru tau
Bu, pantas ibu hebat
sekali tadi.”
“
Uh kau
ini, jadi apa saja
yang kau tau
mengenai ibu? masa ibu
juara berenang sepuluh
kali kau tidak
tau,” memasang muka
kecewa.
“Hah sepuluh
kali? fantastik bu! justru
yang aku dengar
ibu takut sekali
pelajaran matematika, dan suka
membolos demi menghindarinya he he he.”
“
Uh keterlaluan! siapa
yang mengatakan itu
padamu?”
Cups,
Mardo mencium pipi
ibu,” Jangan cemas
Bu, meski ibu lemah
matematika aku
selalu sayang dan
mencintai ibu, karena ibu
nomer satu di hati
Mardo.”
“ Hemmm benar begitu?” rajuk ibu
sembari membelai rambut
basah anaknya.
“Iya dong
Bu,masa ibu tidak
percaya”
“
Percaya deh hemmm
yuk pulang, bibirmu biru
karena kedinginan”.
Dan
keduanya keluar dari
air beranjak meninggalkan
tepi sungai kanan,
terkadang ibu berlari
sehingga rambutnya berjuntaian
di atas pinggang, Mardo mengejarnya
di belakang, tawa keduanya menceriakan
kebun di sepanjang jalan.
Daaaaaaaaang # Kata bibi Sammy, sebenarnya ibu
suka membolos dengan dua alasan, pertama karena ibu memang tidak menyukai matematika,
dan yang kedua sebab ibu naksir guru matematikanya dan malu jika sampai
ketauan ia lemah dalam hal pelajaran itu, ooh apa kata dunia? Masa
cantik-cantik bodoh matematika...he he he mending bolos aja.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar