Pagi
hari ini agak berbeda, sebab kakek sudah membersihkan mobil jeep kesayangannya
di halaman. Padahal biasanya pagi-pagi seperti
ini kakek sedang duduk-duduk di teras
memandangi hamparan kebun rambutannya yang membentang hingga ke-
jalan raya di depan sana. Sebenarnya
bukan melulu pohon rambutan, tetapi ada beberapa baris pohon manggis yang
berdaun lebat dan buahnya sungguh hitam dan bernas. Setelah barisan pohon
manggis itu mulailah ratusan pohon rambutan berjejer di kiri dan kanan jalan
setapak yang menuju jalan raya di atas sana. Selesai dengan hamparan pohon rambutan itu, agak di lembah tampaklah
bentangan sawah yang kurang terpelihara, banyak rumput dan ilalang menjulur
hingga ke jalan. Entah kenapa tidak ada yang berminat merambah dan menanaminya,
hal yang membuat beberapa orang malas melewati jalan tersebut. Tidak ada yang
suka dengan sentuhan illang di wajah dan tubuh iihhh....menggelikan.
Usai hektaran tanah sawah itu mulailah pohon-pohon
karet menjulang tinggi
sepanjang jalan di kiri dan kanan. Bersih dan teduh
keadaan jalan di bawah pohon karet itu. tanahnya
berpasir serta seringkali biji-biji karet berjatuhan menjadi rebutan anak-anak
yang pulang sekolah. Selain itu jika mereka naik sedikit ke bukit ada pula
beberapa gerombol pohon-pohon karamonting yang berbuah sepanjang musim. Meski
sepi dan tertutup oleh daun-daun karet tetapi jika bersama-sama itu adalah
satu-satunya jalan pintas terdekat ke desa dan ke sebrang. Jangan coba-coba
melewatinya sendirian karena banyak cerita aneh dan unik terjadi di sepanjang
jalan di bawah pohon karet itu. Hemmm...untuk anak-anak seusia Mardo
tentu saja cerita-cerita itu sangat membekas, perlu
pemikiran yang panjang jika harus melewatinya sendirian, kata ibu jalan itu
bisa tak berujung dan berpangkal, bisa berjalan puluhan hari bahkan
berbulan-bulan, aneh sekali kan?
Selain
cerita aneh itu berpuluh burung berkicau tinggal di sana, jika pagi dari arah
barisan pohon karet dan bukit kecil di atasnya riuh kicauan burung bagai
simponi yang merdu
Dan bergantian burung-burung itu terbang rendah ke atas
sebuah perigi jernih, mencelupkan bulu-bulu dan meminum air perigi yang kata
orang rasa air perigi itu kadang terasa manis segar, dan ada perempuan cantik yang menjaga perigi itu. Seperti sebuah tempat
yang berasal dari negeri dongeng.
Dan pria
tua bertubuh tegap serta tinggi dan
masih menyisakan ketampanan masa mudanya itu adalah pemilik tanah
tersebut. Jika ia dan anak keturunanannya melewati jalanan itu pohon-pohon karet melambai-lambaikan daunnya
lembut, burung-burung terbang ke sarangnya dan terdiam, cahaya lembut berpencaran dari segala arah, alam seperti
memberikan yang terbaik dan terindah untuk sang pemilik dan anak
keturunanannya.
Dulu
pemiliknya adalah seorang raja di daerah itu, Ia yang awal mula menemukan
tempat tersebut dan membukanya menjadi sebuah kerajaan kecil yang makmur,
puluhan tahun kemudian kakek atau pria tua yang masih gagah dan tampan itulah
pemiliknya.
“ Ayah mau mengantar Mardo ke sekolah?”
Wanita
muda dan cantik muncul dari balik pintu menatap wajah pria gagah tersebut.
“ Iya, Ayah sudah siap.”
Sembari matanya
menatap pada kenderaan yang terparkir di halaman.
“ Hemmm, Ayah sudah siap sepagi ini, tapi
anak yang mau diantar belum kelihatan batang hidungnya, sebentar Ayah.”
“ Annaaa, apa Mardo belum bangun? Ini hari pertamanya di kelas lima.”
“ Iya Ayah, seperti biasanya kita sibuk untuk dirinya,
sedang dia sendiri masih asyik
bermimpi di tempat tidur, biar aku membangunkannya Ayah.”
“ Mardo, ini hari pertamamu di kelas lima,
apa kau sudah bangun?”
Sepi,
tidak ada bayangan seseorang yang dipanggil Mardo. Hemmm...mungkin dia di kamar
mandi, baru saja perempuan itu berpikir seperti itu ketika kelebatan seseorang
hampir
menabraknya dengan tubuh yang basah.
“Ibu!!! bikin kaget saja.”
“ Do, kau ingat ini hari
pertamamu di kelas lima.”
“ Iya Bu, aku segera bersiap-siap,
ibu keluar dulu sanaa.”
Mardo
mendorong tubuh ibu sembari menyembunyikan senyumnya.
“ Hah, apa yang kau sembunyikan dari ibu
hahh..”
Tapi ia
membiarkan tubuhnya terdorong keluar dengan agak geli.
‘ Dia pikir dia sudah menjadi seorang gadis
remaja hemmm.’
Ibu
mengangkat bahunya, melebarkan senyum, hehh Mardo sudah besar yaa.
Sementara
gadis kecil bernama Mardo itu, mulai mengenakan seragamnya.
Hem,_
ini hari
pertamaku di kelas lima.
Gadis kecil
berkulit bersih serta
memiliki senyum manis itu
menyentuh dagu, lantas melebarkan
bibirnya_tersenyum.
Ia sudah
menjadi kakak kelas
sekarang, perasaan hatinya sangat
senang dan
bangga.
Anak-anak kelas satu
sampai kelas empat
kalau berpapasan dengannya
sudah pasti menyapanya
dengan kakak, panggilan yang
membuat perasaannya dewasa
serta merasa punya
kelebihan yang banyak
dibanding adik-adik kelasnya.
“ Kakek, yok berangkat...aku harus mendapatkan bangku utamaku.”
“ Nahhh...kakek sudah siap dari jam
lima, sini sarapan kita dulu.”
Kakek menyodorkan nasi goreng yang asapnya mengebul.
Uch!!!
“ Hemmm...sarapan membuatmu nyaman saat belajar, ayo jangan malas sarapan.”
“ Sudah Kakek!!! Ayooo nanti aku tak dapat bangku Kek.”
“ Ayolah.”
Kakek beranjak
menuju mobil sedan yang terparkir di
halaman. Mardo sigap
mencium punggung tangan ibu serta nenek yang tengah
menyiangi sayuran. “ Aku berangkat
Nek, aku
berangkat Bu.”
“ Hemmm hati-hati kalian ya.”
Daaaaaaaa Nek, daaaaaaa Ibu.
Kakek membelokkan mobil ke arah perkampungan, lebih suka
melewati jalanan di sana dari pada jalanan setapak di bawah pohon karet depan rumah .
Sedang gadis kecil bernama Mardo itu asyik melebarkan bibir, membayangkan ia
sudah jadi kakak sekarang.
“Ada yang lucu
ya? senyum-senyum sendiri.”
Ups,_
ternyata kakek memperhatikan
tingkah lakunya he
he he gadis
kecil yang memiliki
rambut sepundak serta
halus dan keikalan
itu mendekap
mulutnya sembari terkikik
kecil, malu dan geli
kalau kakek tau
apa yang sedang
dipikirkannya.
“Apa sih
yang lucu.”
“Heh,
nggak ada kok
kek, mau tau aja.”
Kakek memajukan
mulutnya lima
senti, sembari bersiap membelokkan
sedan baleno warna hijau tua
memasuki lokasi sekolah dan berhenti di halaman .
“Makasih ya
kakek, muahhh.”
Kakek membalas
ciuman jauh cucunya
dengan lambaian tangan.
“Kakek menunggumu
di toko buku si
linda ya.”
Loh
untuk apa kakek
menunggu di toko buku? bukankah semua
buku
cerita dan
dongeng di toko itu telah
habis mereka baca…hah…bukankah
dekat toko
buku Linda ada
toko tembakau wah! gadis
kecil itu buru-buru
mendekati kakeknya
yang masih duduk
di belakang kemudi, rambut tipisnya
yang terkuncir
berjuntai-juntai.
Kakek!
“
Hemmm, Ada apa cucuku cantik? “
“
Kakek jangan ke toko
tembakau ya!, ingat batuk
kakek, kami nggak
mau mendengar
kakek terbatuk-batuk di
rumah.”
Mata
gadis kecil itu
membesar dan menatap
kakek serius.
“Percayalah
cucu cantiku kakek sudah
kapok, tidak akan mengisap
tembakau lagi,__ kecuali…”
Kakek menggeleng-geleng geli.
Kecuali apa
kek?
Lupa…
Huh, kakek! gadis
kecil itu setengah
menghentak ia meninggalkan
pria tua kakeknya
yang awet muda
itu.
Hoalahhh_ dikiranya
dia dan neneknya
itu bisa mengekangku
he he
kakek mengembangkan
senyumnya merasa geli. Di ujung jalan
Ia berpapasan
dengan sedan
dokter Ahmad yang
lantas menurunkan kaca mobil dan
mengembangkan senyum.
“ Bagaimana kesehatan Bapak?”
“
Alhamdulillah saya baik dokter, kalau
batuk saya kambuh
pasti secepatnya saya hubungi
dokter.”
“
Ya, sebaiknya bapak berhenti
merokok, itu sangat baik
untuk kesehatan bapak.”
“
Terima kasih dokter, saya
akan berusaha.”
Keduanya saling
melempar senyum lantas
melambaikan tangan.
Di halaman turun anak
lelaki gendut yang
sehat berlarian memasuki
kelas.
Saking terburu-burunya ia sampai menabrak Mardo yang menjadi tersungkur dan
beberapa putik cempaka di tangannya terlepas.
Gah! hati-hati kenapa sih!
“
Cempaka maaf nggak sengaja.”
“Cempaka!
Cempaka jangan panggil aku nama itu!”
“Kenapa?
lihat setiap hari kau membawa cempaka, rambutmu selalu ada
bunga cempaka, tasmu juga pasti ada bunga cempaka, kamu itu identik dengan
bunga cempaka.”
Mardo terdiam.Apa yang dikatakan
Glagah nama anak gendut sehat itu memang benar, sejak kelas satu rambutnya
selalu berhias bunga cempaka. Setiap berangkat ke sekolah ibu memetik sekuntum
cempaka dan menyelipkannya di jepitan rambut atau ikatan rambutnya, kata ibu
agar rambutnya wangi. Selain itu kadang ibu memetik
banyak bunga cempaka yang memang pohonnya tubuh menjulang dan subur di halaman,
hampir sepanjang musim pohon cempaka itu melimpah bunganya, ibu
berpesan agar bunga-bunga itu diberikan pada teman-teman dan bu guru dari pada tua dan gugur ke
halaman, akan lebih bermanfaat dan menyenangkan. Sejak itu selalu saja ada
teman yang ingin dibawakan bunga cempaka bahkan mau membelinya.
“Mardo
kau kenapa?”
Kara teman sebangkunya menyambut dengan
pandangan tak berkedip.
“
Bertengkar lagi dengan Gah?” kenapa sih tidak kau biarkan saja ia memanggilmu
dengan cempaka, bukan sesuatu yang jelek.”
“
Aku tidak suka saja titik!”
Gadis yang sama besarnya
dengannya itu
tersenyum, memperhatikan Mardo yang memasukkan tas ketempatnya, membuka
jemarinya yang menggenggam cempaka yang putih segar.
“
Gah itu anak orang kaya, anak dokter spesialis
anak orang terpandang, anak semata wayang.”
“
Lantas kenapa?”
“Anak
bodoh, kalau kau nanti menikah dengannya, kerjamu hanya bersenang-senang sepanjang hidup, tak
susah payah seperti ibu kita sekarang, aku tak mau seperti ibuku, kerjanya di
kebun, mencabuti rumput sampai badannya hitam kena matahari.
“
Ooo, aku baru mengerti.”
Mardo
menekap mulut menahan senyum.
“
Mengerti apa?”
“
Kau mau menikah dengan Gah ya? ha ha ha.”
“
Aku hanya mau
hartanya saja kok ha ha ha…”
Uhhh
dasar materialistis girl! ha ha ha
Saling menunjuk ke
wajah dan tertawa terkekeh-kekeh.
Hi
hi hi
Itu
kamu, bukan aku
Berarti
kamu yang rugi..
Biarin
wee…dasar materialisis girl
Enakkk
wee…
Dan
keduanya tertawa-tawa kegelian oleh sikap mereka itu. Lalu belajar-belajar
dan belajar.
***
Jam
kepulangan sekolah berdentang
keras, Mardo terburu membenahi
tas begitupun
Kara,
keduanya berlarian diantara
anak-anak.
“
Aku ketempat kakek
di toko buku linda.”
“
Ok, Aku ditunggu ayah
di tepian sungai.”
Baiklah sampai
ketemu besok muuahhh.
Dahhhh muuahhh.
Gadis kecil
yang lincah itu
lantas berlarian diantara
anak-anak
yang seperti
air bah berhamburan
dari halaman sekolah, gadis kecil
bernama Mardo
itu sangat khawatir
pada kakek, khawatir kakek
tergoda
menghisap tembakau, akibatnya bisa
sangat buruk, kakek batuk-batuk
lagi
dan sakit. Akibatnya tidak
akan ada yang
mengantarnya ke sekolah.# wee
kirain perduli, tak taunya demi diri sendiri weee.#
Kakek!
Gadis kecil
itu berbinar matanya
melihat kakek sudah
parkir menunggunya.
“
Langsung pulang kek?”
Tanyanya sembari
menghempaskan pundak ke sandaran.
“
Sebentar, menunggu pesanan nenekmu
dikemas.”
“
Uch kenapa nggak
dari tadi kek?
Apa saja kerja
kakek seharian.”
“
Kakek baca buku
cerita bagus, nanti kakek
ceritakan ya.”
“
Biar aku
baca sendiri ya
kek, aku sudah besar
dan pintar.”
“
Yah, buku-buku itu ada di
tas kakek.”
“
Biar aku
ambil ya kek, tak
sabar ingin membacanya.”
Seketika meluncur ke
belakang melalui sandaran.
“
Kakek memesan buku
ini untukku?”
“
Toko buku linda
yang menawarkannya, dan kakek
hanya mengiyakan.”
Serta merta Mardo
merengkuh leher kakek, dan
muahhh, ciuman tanda
terima kasih
mendarat di pipi kakek.
“
Makasih banyak ya
kek, sering-seringlah belikan
Mardo buku seperti
ini, Mardo senaaaaaaaang.”
Gadis kecil
itu berteriak riang
hingga matanya tinggal
segaris.
Sembari kakek
menyetir dengan lembut
dan konsentrasi pada
jalan
Mardo membukai
buku-buku pemberian kakek, bibirnya menyungging
senyum dan matanya bersinar
riang.
“
Kek, aku ingin menulis
cerita seperti ini.”
“
Cerita apa di buku
itu?”
“
Cerita tentang putri-putri
kek, aku ingin menulis
seperti ini, bagaimana caranya
kek?”
Kakek mengerutkan
kening, selama ini sudah banyak
kakek menceritakan kisah-kisah
dari buku yang
pernah dibacanya, bahkan pada
akhirnya kakek mengarang
sendiri dongeng-dongeng pengantar
tidur untuk cucunya
sejak anak itu
belum lagi bisa
bicara, tapi sedikitpun tidak
terbersit dipikiran kalau
suatu waktu anak
itu akan memiliki
keinginan menjadi penulis, bahkan kakek
baru tersadar bahwa
ada orang-orang hebat
dibalik buku dan kisah-kisah
ajaib yang meninggalkan
kesan.
“
Bagus! Jadilah penulis.”
“
Bagaimana caranya kek?”
Kakek terdiam, keningnya berkerut-kerut.
“
Kakek tak bisa
menjawabnya, tapi suatu waktu
kau pasti menemukan
jalan pada keinginan
itu, sekarang banyaklah membaca, belajar dan
berdoa, Insya Allah selalu
terbuka jalan untukmu.”
“
Iya kek, aku ingin
menulis kisah tentang kakek, nenek, ibu, Kara, paman Pangga, paman Handi, bibi Intani, bibi Sammi.”
Cempaka!
Mendadak dokter Ahmad dan putranya
yang bernama
Glagah berpapasan, Mardo buru-buru memasang wajah masam. Kakek tersenyum.
“Apa
kau juga ingin menulis kisah si gendut yang suka memanggilmu dengan nama
Cempaka itu?”
“
Ah malas kek, aku tidak akan menulis tentangnya.”
“
Itu tidak adil namanya, kau harus menulis tentang dia juga karena kalau kau
menulis cerita tentang kami semua tampa dirinya kisahmu akan kehilangan
sesuatu yang menarik, keusilannya
akan membuat kisahmu hidup.”
“
Begitu ya kek?”
“
Iya, kakek banyak membaca buku yang mengisahkan keunikkan serta sifat tokoh-tokohnya
yang saling bertabrakan sehingga kisah itu penuh konplik dan menarik.”
“
Iya baiklah saran kakek dipertimbangkan.”
Kakek mengangguk-angguk, mereka
terus mengobrol sepanjang jalan.
Lantas perjalanan
itu hening karena
Mardo sudah tenggelam
dengan
bacaan,
sedang kakek menikmati
pemandangan kiri dan
kanan, kadang perumahan yang
halamannya penuh bunga, kadang
padang illang yang
tampak menari-nari terhembus
angin, kadang perbukitan kecil
penuh pepohonan dan akhirnya kakek
berbelok ke jalan setapak
di tengah perkebunan karet, lantas
kebun rambutan dan
akhirnya berhenti di halaman
samping di bawah pohon
kelapa.
Ibuuu
Mardo berlarian
sepanjang halaman, menaiki tangga.
“
Ibu sedang ke Labuan
Batu.”
Seorang perempuan
separo baya menyambutnya.
Oh, Mardo setengah
kecewa menghempaskan dirinya
pada tangga menatap
ke jalan setapak yang
sepi sembari mendekap pipi.
“
Mardo, tasmu,” kakek
mengacungkan tas gadis kecil itu.
Mardo hanya
diam, masih tetap menekap
pipinya, perempuan yang selalu
melayani keperluan keluarga
itu bergegas turun
mengambil tas milik
gadis kecil itu, lantas
mengatakan makanan kesukaan
Mardo telah siap di meja
makan.
“
Kakek mau ke
ladang menengok nenekmu,ikut?”
Ikut kek.
“
Tapi Tulang, kata ibu Bungsu Mardo tidak
boleh ke ladang.”
Siapa yang
perduli, Mardo menuruni tangga
lantas lari ke arah
ladang.
“
Kek, setiap hari ibu
pergi ke Labuan
Batu, memangnya di sana ramai?”
“
Iya ramai, dan langganan
ibu sudah banyak
di sana.”
“
Ibu tidak pernah
mengajakku ke sana bahkan
saat liburan kemarin.”
“
Biar nanti kita
berdua ke sana.”
“
Kakek mau ke Labuan
Batu?”
“
Hanya mengantarmu.”
“
Hah, seandainya ibu seperti
kakek.”
Memangnya kakek
kenapa?
“
Baik hati.”
Kakek melebarkan
senyumnya.
“
Selalu menemani, dan membelikan
buku cerita.”
Hanya saja….
Kakek mengerutkan
keningnya.
Apa?
Mardo mendongakkan
kepala, menatap wajah kakek
lantas mengembangkan senyum
sehingga matanya menyipit segaris.
” Kakek tidak
bisa bisnis seperti
nenek dan ibu.”
Kakek mesem-mesem, membuang pandangannya
ke sebrang.
“
Bukan tak bisa cucu cantiku, kakek hanya memberi kesempatan ibu dan nenekmu
bertumbuh, berkembang, berwawasan dan pintar. Tidak cuma melayani
suami dan anak-anak lalu
mati…biar ibu dan nenekmu punya kebanggaan di mata
suami dan anak-anaknya, juga
dirinya sendiri.”
Mardo mendengarkan kata-kata kakek
dengan teliti.
“
Bahkan istri Nabi kita pun bukan ibu rumah tangga biasa, melainkan
pedagang yang sangat pintar dan
berbudi…”
Wauuu!
Kalau begitu kakek yang hebat!
Sang kakek hanya mangut-mangut
mengusap jenggotnya.
“
Ibu dan nenek juga hebat, kakek tidak secermat dan seteguh mereka
dalam berbisnis, kakek sering
kena tipu ha ha ha….”
“
Itu karena kakek terlalu baik, iya kan?”
“
Bisa jadi, dan kakek lebih suka menjaga cucu cantik kakek.”
Mardo melebarkan senyumnya hingga
matanya menjadi segaris, lantas
berlarian
ke gubuk kecil di tepi kebun, nenek tengah menunggu mereka
sambil
membelah pepaya kemerahan yang segar.
Nenek!!!
Aku datang!!!
“
Sini Cu, lihat nenek memanen banyak pepaya,”
Wahhh….
Sudah kehabisan kata-kata, kecuali
mengambil potongan pepaya dan
memasukkannya
ke mulut, menikmati bertiga hasil kebun di gubuk teduh. Setelah itu
sepoi angin membuat mata mengantuk serta bunyi kerincing
pengusir burung, ketiganya
menyandarkan tubuh dan terlelap di tengah alam.
Daaaaaangggg...
#
Asyiknya memiliki kakek dan nenek yang menjaga dan memanjakan tampa batas,
mengasihi saat merajuk, saat menangis...uch selalu indah dengan kakek dan
nenek.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar