Minggu, 05 Juli 2015

Mardo Cempaka Putih Kesenyapan Yang Pecah di Sungai Kanan



Mardo Cp. Kesenyapan Yang Pecah di Sungai Kanan

Kabut  pagi  yang  membias  putih  melingkupi  desa  Martapotan. Desa  yang  pada  sisi  kanan  mengalir  sungai  putih  jernih  serta  segar  dengan  batu-batu  bertebaran  padanya, juga  pasir  putih  sepanjang  tepinya, dan  di  dalam  sungai  itu  hidup  berbagai  jenis  ikan, udang, kerang, remis  serta  lokan. Sungguh  kekayaan  alam  yang  tidak  terhingga  diperuntukkan  bagi   penduduk  yang  menetap  sepanjang  lingkungan  sungai.
            Pagi  berkabut  seperti  itu  serta  udara  yang  berhembus  menyingkap  selimut  gadis  kecil  yang  tengah  terlelap  dengan  jemari  di bawah  pipi. Uchhh _ gadis  kecil  itu  menggeliat  lantas  perlahan  membuka  matanya, hah!  sudah  pagi_,bagai  disentak  ia  turun  beranjak  menyingkap  gorden  pintu. Sepi. Cepat  ia  ke dapur  mengambil  ember  kecil  tempat  perlengkapan  mandi, menyambar  handuk  yang  tersangkut  di  jemuran  lantas  hup  melompat  dari  undakan  tangga  dapur  ke bawah.
            “ Mardo  mau  kemana?”
            Ups _ suara  ibu, ia  menoleh  dan  tampak  ibu  tengah  mengeluarkan  sebagian  tubuhnya  dari  pintu  dapur  menoleh  kearahnya.
              Ke sungai  Bu  mandi.”
            “ Hei, bukankah  biasanya  mandi  di perigi.”
            “ Sekali  ini  aku  mau  mandi  di sungai  Bu.”
            Gadis  kecil  itu  serta  merta  lari  meninggalkan  ibu  yang  setengah
terbengong  sejak  kapan  Mardo  tau  mandi  di sungai? anak  itu  telah  dibiasakannya  mandi  pada  sumur  yang  tak  jauh  dari  rumah, bayangan  tubuh  kecilnya  berkelebat  sepanjang  jalan  setapak, ibu  serta  merta  menyusul. Ibu selalu  cemas  jika  Mardo  pergi  ke sungai  apa  lagi  mandi  di pagi  seperti  ini, padahal  anak-anak  seusia  Mardo  sangat  akrab  dengan  sungai  Kanan  nama  sungai  itu. Setiap  hari  selalu  ada  saja  anak-anak  yang  bermain  dan  mandi  di sana. Sungai  Kanan  menjadi  tempat  bermain  yang  mengasyikan. Suara  anak-anak  yang  berteriak  riuh  sampai  ke tengah  desa, mereka  bermain  pasir, berenang, lomba  menyelam, lomba  perahu, lomba  keberanian  melompat  dari  atas  pohon  yang  tumbuh  di tepi  sungai. Lelah  bermain  anak-anak  itu  ramai-ramai  menangkap  ikan  di  bagian  lubuk  yang  banyak  ikan  besarnya,atau  memburu  udang  di bawah  batu, remis, lokan, kerang  apa  saja  yang  mudah  di dapat, menghidupkan  api  dan  membakar  ikan  di sana. Sangat  riang  dan  menyenangkan, tapi  ibu  tidak  ingin  Mardo  menjadi  bagian  anak-anak  itu, ia  selalu  was-was  jika  Mardo  ke  sungai.
            Ugh  ugh_ nafas  Mardo  terenggah-engah  saat  kakinya  menginjak  tepian
sungai  yang  berpasir  halus, matanya  menatap  ke sebrang, sepi  dan  sunyi  hanya gemericik  air  serta  kecipak  ikan. Hening  sampai  sebuah  suara  nyaris  memutuskan  jantungnya.
            “Anak  kurang  ajar!!! lebih  baik  kau  mati  tenggelam  sana  dari  pada
menyusahkan  orang  tua!”
            Dan  apa  itu  yang  bergulingan  meluncur  sangat  cepat  dan  Byurrr
seketika  air  berpencaran  ke segala  penjuru?Mardo  tercekat  mendekap  dada, meski  masih  berkabut  tapi  jelas  ada  seseorang  yang  kini  timbul  tenggelam  terbawa  arus, belum  hilang  rasa  terkejutnya  mendadak  sesosok  tubuh  melewatinya  dan terjun  berenang  mengejar  tubuh  yang  timbul  tenggelam  terbawa  arus. Mardo  tak  berkedip  menyaksikan  kejadian  di sungai  Kanan  yang  sangat  mendebarkan.
            Mardo  meremas-remas  jemarinya  sembari  meneriaki  laki-laki  yang  basah  kuyup  sehabis  terjun  menarik  dua  tubuh  ke tepi. Tampak  ibu   berusaha  memberikan  pertolongan, sedang  lelaki  tegap  di sebelahnya  termanggu-manggu  menyesali  tindakan  tak  terkontrol  akibat  kemarahan  tidak  berhingga.
            “ Apa  yang  abang  lakukan  tadi  sungguh  keterlaluan! Aku  harap  tidak
akan  terulang  lagi! bersabarlah!  mereka  hanya  anak-anak.”
            Suara  ibu  di tekan, pertanda  kemarahannya  pada  laki-laki  itu.
            “Aku  khilap….maafkan  ayah  nak.”
            Ia  dekap  kepala  anaknya  yang  kini  terisak-isak  di pelukan  ayahnya.
            Dan  Mardo  melebarkan  matanya, itu  pemandangan  yang  sangat
menggetarkan  perasaan, ia  menggigit  bibir.
            Ra, Kara  kamu  baik-baik  saja  kan?”
            Mardo  menyentuh  pundak  teman  sebangkunya  yang  basah  kuyup  dan  baru  saja  muntah  karena  terlalu  banyak  menelan  air, hiks  hiks  hiks….Kara  terisak-isak, tak  berdaya  di rengkuhan  ibu.
            “Dia  baik-baik  saja!  kami  pulang  yaa, oia  Mardo  tolong  mintakan  ijin pada  bu  guru  ya.”
            I-iya  Paman, ta-tapi  jangan  memarahi  temanku  lagi  ya.
            Paman  Pangga  melebarkan  bibirnya,” Asal  temanmu  bertingkah  laku  baik  dan  terpuji  paman  tidak  akan  memarahinya.”
            “ Heh  kau  ini, jangan  menasehati  orang  tua!”
            Ibu  menyentuh  dagunya.
            Ia  dan  Ibu   memandangi  ayah  dan  anaknya  itu  menyebrang
naik  ke  tepi  dan  menghilang  ke dalam  kerimbunan  pohon-pohon.
            Bu.
            Suara  Mardo  membuat  ibu  tersadar.
            “ Ibu  keren  sekali  loh, luar  biasa.”
            Kenapa?
            “ Ibu  adalah  malaikat  penyelamat  Kara.”
            Matanya  memandangi  ibu  berbinar-binar.
            Ah  kau  bisa  saja.”Tapi  tak  urung  wajah  ibu  memerah  karena  senang  mendengar  pujian  anaknya.
            “ Biasa  saja, ibu  dulu  selalu  juara  pertama  lomba  berenang.”
            Mata  ibu  berkerjap-kerjap, dagunya  mendongak  keatas  sembari  menyabuni tubuhnya  dan  Mardo.
            “ Oh, Mardo  baru  tau  Bu, pantas  ibu  hebat  sekali  tadi.”
            “ Uh  kau  ini, jadi  apa  saja  yang  kau  tau  mengenai  ibu? masa  ibu  juara  berenang  sepuluh  kali  kau  tidak  tau,”  memasang  muka  kecewa.
            “Hah  sepuluh  kali? fantastik  bu!  justru  yang  aku  dengar  ibu  takut  sekali  pelajaran  matematika, dan  suka  membolos  demi  menghindarinya  he he he.”
            “ Uh  keterlaluan!   siapa  yang  mengatakan  itu  padamu?”
            Cups, Mardo  mencium  pipi  ibu,” Jangan  cemas  Bu, meski  ibu  lemah  matematika  aku  selalu  sayang  dan  mencintai  ibu, karena  ibu  nomer  satu  di hati  Mardo.”
            Hemmm  benar  begitu?” rajuk  ibu  sembari  membelai  rambut  basah  anaknya.
            Iya  dong  Bu,masa  ibu  tidak  percaya”
            “ Percaya  deh  hemmm  yuk  pulang, bibirmu  biru  karena  kedinginan”.
            Dan  keduanya  keluar  dari  air  beranjak  meninggalkan  tepi  sungai  kanan,  terkadang  ibu  berlari   sehingga  rambutnya  berjuntaian  di atas  pinggang, Mardo  mengejarnya  di belakang, tawa  keduanya  menceriakan  kebun  di sepanjang  jalan.

                                                 Daaaaaaaaang                                                                                                            # Kata bibi Sammy, sebenarnya ibu suka membolos dengan dua alasan, pertama  karena ibu memang tidak menyukai matematika, dan yang kedua sebab ibu naksir guru matematikanya dan malu jika sampai ketauan ia lemah dalam hal pelajaran itu, ooh apa kata dunia? Masa cantik-cantik bodoh matematika...he he he mending bolos aja.#
Bab  I.  Kisah Manis ini Berawal  Dan Bermula Dari Sini                                

            Pagi hari ini agak berbeda, sebab kakek sudah membersihkan mobil jeep kesayangannya di halaman. Padahal biasanya  pagi-pagi seperti ini kakek sedang  duduk-duduk di teras memandangi hamparan kebun rambutannya yang membentang hingga ke-
jalan raya di depan sana. Sebenarnya bukan melulu pohon rambutan, tetapi ada beberapa baris pohon manggis yang berdaun lebat dan buahnya sungguh hitam dan bernas. Setelah barisan pohon manggis itu mulailah ratusan pohon rambutan berjejer di kiri dan kanan jalan setapak yang menuju jalan raya di atas sana. Selesai dengan hamparan  pohon rambutan itu, agak di lembah tampaklah bentangan sawah yang kurang terpelihara, banyak rumput dan ilalang menjulur hingga ke jalan. Entah kenapa tidak ada yang berminat merambah dan menanaminya, hal yang membuat beberapa orang malas melewati jalan tersebut. Tidak ada yang suka dengan sentuhan illang di wajah dan tubuh iihhh....menggelikan.
Usai  hektaran tanah sawah itu mulailah pohon-pohon karet menjulang tinggi
sepanjang jalan di kiri dan kanan. Bersih dan teduh keadaan jalan  di bawah pohon karet itu. tanahnya berpasir serta seringkali biji-biji karet berjatuhan menjadi rebutan anak-anak yang pulang sekolah. Selain itu jika mereka naik sedikit ke bukit ada pula beberapa gerombol pohon-pohon karamonting yang berbuah sepanjang musim. Meski sepi dan tertutup oleh daun-daun karet tetapi jika bersama-sama itu adalah satu-satunya jalan pintas terdekat ke desa dan ke sebrang. Jangan coba-coba melewatinya sendirian karena banyak cerita aneh dan unik terjadi di sepanjang jalan di bawah pohon karet itu. Hemmm...untuk  anak-anak seusia Mardo
tentu saja cerita-cerita itu sangat membekas, perlu pemikiran yang panjang jika harus melewatinya sendirian, kata ibu jalan itu bisa tak berujung dan berpangkal, bisa berjalan puluhan hari bahkan berbulan-bulan, aneh sekali kan?
            Selain cerita aneh itu berpuluh burung berkicau tinggal di sana, jika pagi dari arah barisan pohon karet dan bukit kecil di atasnya riuh kicauan burung bagai simponi yang merdu
Dan bergantian burung-burung itu terbang rendah ke atas sebuah perigi jernih, mencelupkan bulu-bulu dan meminum air perigi yang kata orang rasa air perigi itu kadang terasa manis segar, dan ada perempuan cantik  yang menjaga perigi itu. Seperti sebuah tempat yang berasal dari negeri dongeng.
            Dan pria tua bertubuh tegap serta  tinggi dan masih menyisakan ketampanan masa mudanya itu adalah pemilik tanah tersebut.  Jika ia dan  anak keturunanannya melewati jalanan itu  pohon-pohon karet melambai-lambaikan daunnya lembut, burung-burung terbang ke sarangnya dan terdiam, cahaya lembut  berpencaran dari segala arah, alam seperti memberikan yang terbaik dan terindah untuk sang pemilik dan anak keturunanannya.
            Dulu pemiliknya adalah seorang raja di daerah itu, Ia yang awal mula menemukan tempat tersebut dan membukanya menjadi sebuah kerajaan kecil yang makmur, puluhan tahun kemudian kakek atau pria tua yang masih gagah dan tampan itulah pemiliknya.
            “ Ayah mau mengantar Mardo ke sekolah?”
            Wanita muda dan cantik muncul dari balik pintu menatap wajah pria gagah tersebut.
            “ Iya, Ayah sudah siap.”
            Sembari matanya menatap pada kenderaan yang terparkir di halaman.
            “ Hemmm, Ayah sudah siap sepagi ini, tapi anak yang mau diantar belum kelihatan batang hidungnya, sebentar Ayah.”
“ Annaaa, apa Mardo belum bangun?  Ini hari pertamanya di kelas lima.”
“ Iya Ayah, seperti biasanya kita sibuk untuk dirinya, sedang dia sendiri masih asyik
bermimpi di tempat tidur, biar aku membangunkannya Ayah.”
            “ Mardo, ini hari pertamamu di kelas lima, apa kau sudah bangun?”
            Sepi, tidak ada bayangan seseorang yang dipanggil Mardo. Hemmm...mungkin dia di kamar mandi, baru saja perempuan itu berpikir seperti itu ketika kelebatan seseorang hampir
menabraknya dengan tubuh yang basah.
            “Ibu!!! bikin kaget saja.”
            “ Do, kau ingat ini hari pertamamu di kelas lima.”
            “ Iya Bu, aku segera bersiap-siap, ibu keluar dulu sanaa.”
            Mardo mendorong tubuh ibu sembari menyembunyikan senyumnya.
            “ Hah, apa yang kau sembunyikan dari ibu hahh..”
            Tapi ia membiarkan tubuhnya terdorong keluar dengan agak geli.
            ‘ Dia pikir dia sudah menjadi seorang gadis remaja hemmm.’
            Ibu mengangkat bahunya, melebarkan senyum, hehh Mardo sudah besar yaa.
            Sementara gadis kecil bernama Mardo itu, mulai mengenakan seragamnya.
            Hem,_ ini  hari  pertamaku  di kelas  lima.
            Gadis  kecil  berkulit  bersih  serta  memiliki  senyum  manis  itu  menyentuh dagu,  lantas  melebarkan  bibirnya_tersenyum.
Ia  sudah  menjadi  kakak  kelas  sekarang, perasaan  hatinya  sangat  senang  dan
bangga. Anak-anak  kelas  satu  sampai  kelas  empat  kalau  berpapasan  dengannya  sudah  pasti  menyapanya  dengan  kakak, panggilan  yang  membuat  perasaannya  dewasa  serta  merasa  punya  kelebihan  yang  banyak  dibanding  adik-adik  kelasnya.
“ Kakek, yok berangkat...aku harus mendapatkan bangku utamaku.”
“ Nahhh...kakek sudah siap dari  jam lima, sini sarapan kita dulu.”
Kakek menyodorkan nasi goreng yang asapnya mengebul.
Uch!!!
“ Hemmm...sarapan membuatmu nyaman saat belajar, ayo jangan malas sarapan.”
“ Sudah Kakek!!! Ayooo nanti aku tak dapat bangku Kek.”
“ Ayolah.”
Kakek  beranjak menuju mobil sedan yang terparkir  di halaman. Mardo sigap
mencium punggung tangan ibu serta nenek yang tengah menyiangi sayuran. “ Aku berangkat
Nek, aku berangkat Bu.”
            “ Hemmm hati-hati kalian ya.”
Daaaaaaaa Nek, daaaaaaa Ibu.
Kakek membelokkan mobil ke arah perkampungan, lebih suka melewati jalanan di sana dari pada jalanan  setapak di bawah pohon karet depan rumah . Sedang gadis kecil bernama Mardo itu asyik melebarkan bibir, membayangkan ia sudah jadi kakak sekarang.
 “Ada  yang  lucu  ya?  senyum-senyum  sendiri.”
            Ups,_ ternyata  kakek  memperhatikan  tingkah  lakunya  he  he  he  gadis  kecil  yang  memiliki  rambut  sepundak  serta  halus  dan  keikalan  itu     mendekap  mulutnya  sembari  terkikik  kecil, malu   dan  geli  kalau  kakek  tau  apa  yang  sedang  dipikirkannya.
            “Apa  sih  yang  lucu.”
            “Heh, nggak  ada  kok  kek, mau  tau  aja.”
            Kakek  memajukan  mulutnya  lima  senti, sembari  bersiap  membelokkan
sedan baleno warna hijau tua  memasuki  lokasi  sekolah dan berhenti di halaman .
            “Makasih  ya  kakek, muahhh.”
            Kakek  membalas  ciuman  jauh  cucunya  dengan  lambaian  tangan.
            “Kakek  menunggumu  di toko  buku  si  linda  ya.”
            Loh  untuk  apa  kakek  menunggu  di toko  buku? bukankah  semua  buku
cerita  dan  dongeng  di toko  itu telah  habis  mereka  baca…hah…bukankah
dekat  toko  buku  Linda  ada  toko  tembakau   wah! gadis  kecil  itu  buru-buru
mendekati  kakeknya  yang  masih  duduk  di belakang  kemudi, rambut  tipisnya
yang  terkuncir  berjuntai-juntai.
            Kakek!
            “ Hemmm, Ada apa cucuku cantik? “  
            “ Kakek  jangan  ke toko  tembakau  ya!, ingat  batuk  kakek, kami  nggak
mau  mendengar  kakek  terbatuk-batuk  di  rumah.”
            Mata  gadis  kecil  itu  membesar  dan  menatap  kakek  serius.
            “Percayalah cucu cantiku  kakek  sudah  kapok, tidak  akan  mengisap  tembakau lagi,__  kecuali…”
            Kakek  menggeleng-geleng  geli.
            Kecuali  apa  kek?
            Lupa…
            Huh, kakek!  gadis  kecil  itu  setengah  menghentak  ia  meninggalkan  pria  tua  kakeknya  yang  awet  muda   itu.
            Hoalahhh_  dikiranya  dia  dan  neneknya  itu  bisa  mengekangku  he he
kakek  mengembangkan  senyumnya  merasa  geli. Di ujung  jalan  Ia berpapasan
dengan  sedan  dokter  Ahmad  yang  lantas  menurunkan kaca mobil dan mengembangkan senyum.
            Bagaimana kesehatan Bapak?”
            “ Alhamdulillah saya  baik  dokter, kalau  batuk  saya  kambuh  pasti  secepatnya saya  hubungi  dokter.”
            “ Ya, sebaiknya  bapak  berhenti  merokok, itu  sangat  baik  untuk  kesehatan  bapak.”
            “ Terima  kasih  dokter, saya  akan  berusaha.”
            Keduanya  saling  melempar  senyum  lantas  melambaikan  tangan.
            Di halaman turun  anak  lelaki  gendut  yang  sehat  berlarian  memasuki
kelas. Saking terburu-burunya ia sampai menabrak Mardo yang menjadi tersungkur dan beberapa putik cempaka di tangannya terlepas.
            Gah!  hati-hati kenapa sih!
            “ Cempaka maaf nggak sengaja.”
            “Cempaka! Cempaka jangan panggil aku nama itu!”
            “Kenapa? lihat setiap hari kau membawa cempaka, rambutmu selalu ada
bunga cempaka, tasmu juga pasti  ada bunga cempaka, kamu itu identik dengan bunga cempaka.”
            Mardo terdiam.Apa yang dikatakan Glagah nama anak gendut sehat itu memang benar, sejak kelas satu rambutnya selalu berhias bunga cempaka. Setiap berangkat ke sekolah ibu memetik sekuntum cempaka dan menyelipkannya di jepitan rambut atau ikatan rambutnya, kata ibu agar rambutnya wangi.  Selain itu kadang ibu memetik banyak bunga cempaka yang memang pohonnya tubuh menjulang dan subur di halaman, hampir sepanjang musim pohon cempaka itu melimpah bunganya, ibu berpesan agar bunga-bunga itu diberikan pada teman-teman  dan bu guru dari pada tua dan gugur ke halaman, akan lebih bermanfaat dan menyenangkan. Sejak itu selalu saja ada teman yang ingin dibawakan bunga cempaka bahkan mau membelinya.
            “Mardo kau kenapa?”
            Kara teman sebangkunya menyambut dengan pandangan tak berkedip.
            “ Bertengkar lagi dengan Gah?” kenapa sih tidak kau biarkan saja ia memanggilmu dengan cempaka, bukan sesuatu yang jelek.”
            “ Aku tidak suka saja titik!”
            Gadis yang sama besarnya dengannya itu tersenyum, memperhatikan Mardo yang memasukkan tas ketempatnya, membuka jemarinya yang menggenggam cempaka yang putih segar.
            “ Gah itu anak orang kaya, anak dokter spesialis  anak orang terpandang, anak semata wayang.”
            “ Lantas kenapa?”
            “Anak bodoh, kalau kau nanti menikah dengannya, kerjamu  hanya bersenang-senang sepanjang hidup, tak susah payah seperti ibu kita sekarang, aku tak mau seperti ibuku, kerjanya di kebun, mencabuti rumput sampai badannya hitam kena matahari.
            “ Ooo, aku baru mengerti.”
            Mardo menekap mulut menahan senyum.
            “ Mengerti apa?”
            “ Kau mau menikah dengan Gah ya? ha ha ha.”
            “ Aku hanya mau hartanya saja kok ha ha ha…”
            Uhhh dasar materialistis girl! ha ha ha
            Saling menunjuk ke wajah dan tertawa terkekeh-kekeh.
            Hi hi hi
            Itu kamu, bukan aku
            Berarti kamu yang rugi..
            Biarin wee…dasar materialisis girl
            Enakkk wee…
            Dan keduanya tertawa-tawa kegelian oleh sikap mereka itu. Lalu belajar-belajar
dan belajar.
                                                         ***     
                                       
            Jam  kepulangan  sekolah  berdentang  keras, Mardo  terburu  membenahi
tas  begitupun  Kara, keduanya  berlarian  diantara  anak-anak.
            “ Aku  ketempat  kakek  di toko  buku  linda.”
            “ Ok, Aku  ditunggu  ayah  di tepian  sungai.”
            Baiklah  sampai  ketemu  besok  muuahhh.
            Dahhhh  muuahhh.
            Gadis  kecil  yang  lincah  itu  lantas  berlarian  diantara  anak-anak
yang  seperti  air  bah  berhamburan  dari  halaman  sekolah, gadis  kecil
bernama  Mardo  itu  sangat  khawatir  pada  kakek, khawatir  kakek  tergoda
menghisap  tembakau, akibatnya  bisa  sangat  buruk, kakek  batuk-batuk  lagi
dan  sakit. Akibatnya  tidak  akan  ada  yang  mengantarnya  ke sekolah.# wee kirain perduli, tak taunya demi diri sendiri weee.#
            Kakek!
            Gadis  kecil  itu  berbinar  matanya  melihat  kakek  sudah  parkir  menunggunya.
            “ Langsung  pulang  kek?”
            Tanyanya  sembari  menghempaskan  pundak  ke sandaran.
            “ Sebentar, menunggu  pesanan  nenekmu  dikemas.”
            “ Uch  kenapa  nggak  dari  tadi  kek?  Apa  saja  kerja  kakek  seharian.”
            “ Kakek  baca  buku  cerita  bagus, nanti  kakek  ceritakan  ya.”
            “ Biar  aku  baca  sendiri  ya  kek, aku  sudah  besar  dan  pintar.”
            “ Yah, buku-buku  itu  ada  di tas  kakek.”
            “ Biar  aku  ambil  ya  kek, tak  sabar  ingin  membacanya.”
            Seketika meluncur ke belakang melalui sandaran.
            “ Kakek  memesan  buku  ini  untukku?”
            “ Toko  buku  linda  yang  menawarkannya, dan  kakek  hanya  mengiyakan.”
            Serta merta  Mardo  merengkuh  leher  kakek, dan  muahhh, ciuman  tanda
terima  kasih  mendarat  di pipi  kakek.
            “ Makasih  banyak  ya  kek, sering-seringlah  belikan Mardo  buku  seperti
ini, Mardo  senaaaaaaaang.”
            Gadis  kecil  itu  berteriak  riang  hingga  matanya  tinggal  segaris.
            Sembari  kakek  menyetir  dengan  lembut  dan  konsentrasi  pada  jalan
Mardo  membukai  buku-buku  pemberian  kakek, bibirnya  menyungging  senyum dan  matanya  bersinar  riang.
            “ Kek, aku   ingin  menulis  cerita  seperti  ini.”
            “ Cerita  apa  di buku  itu?”
            “ Cerita  tentang  putri-putri  kek, aku  ingin  menulis  seperti  ini, bagaimana  caranya  kek?”
            Kakek  mengerutkan  kening, selama ini  sudah  banyak  kakek  menceritakan  kisah-kisah  dari  buku  yang  pernah  dibacanya, bahkan  pada  akhirnya  kakek  mengarang  sendiri  dongeng-dongeng  pengantar  tidur  untuk  cucunya  sejak  anak  itu  belum  lagi  bisa  bicara, tapi  sedikitpun  tidak  terbersit  dipikiran  kalau  suatu  waktu  anak  itu  akan  memiliki  keinginan  menjadi  penulis, bahkan  kakek  baru  tersadar  bahwa  ada  orang-orang  hebat  dibalik  buku dan  kisah-kisah  ajaib  yang  meninggalkan  kesan.
            “ Bagus!  Jadilah  penulis.”
            “ Bagaimana  caranya  kek?”
            Kakek  terdiam, keningnya  berkerut-kerut.
            “ Kakek  tak  bisa  menjawabnya, tapi  suatu  waktu  kau  pasti  menemukan  jalan  pada  keinginan  itu, sekarang  banyaklah  membaca, belajar  dan  berdoa, Insya Allah  selalu  terbuka  jalan  untukmu.”
            “ Iya  kek, aku  ingin  menulis  kisah  tentang kakek, nenek,  ibu, Kara, paman Pangga,  paman Handi,  bibi Intani, bibi  Sammi.” 
            Cempaka!
            Mendadak dokter Ahmad dan putranya yang bernama Glagah berpapasan, Mardo buru-buru memasang wajah masam. Kakek tersenyum.
            “Apa kau juga ingin menulis kisah si gendut yang suka memanggilmu dengan nama Cempaka itu?”
            “ Ah malas kek, aku tidak akan menulis tentangnya.”
            “ Itu tidak adil namanya, kau harus menulis tentang dia juga karena kalau kau menulis cerita tentang kami semua tampa dirinya kisahmu akan kehilangan
sesuatu yang menarik, keusilannya akan membuat kisahmu hidup.”
            “ Begitu ya kek?”
            “ Iya, kakek banyak membaca buku yang mengisahkan keunikkan serta sifat tokoh-tokohnya yang saling bertabrakan sehingga kisah itu penuh konplik dan menarik.”
            “ Iya baiklah saran kakek dipertimbangkan.”
            Kakek mengangguk-angguk, mereka terus mengobrol sepanjang jalan.
            Lantas  perjalanan  itu  hening  karena  Mardo  sudah  tenggelam  dengan
bacaan, sedang  kakek  menikmati  pemandangan  kiri  dan  kanan, kadang  perumahan  yang  halamannya  penuh  bunga, kadang  padang  illang  yang  tampak  menari-nari  terhembus  angin, kadang  perbukitan  kecil  penuh  pepohonan  dan  akhirnya  kakek  berbelok  ke jalan  setapak  di tengah  perkebunan  karet, lantas  kebun  rambutan  dan  akhirnya  berhenti  di halaman  samping  di bawah  pohon  kelapa.
            Ibuuu
            Mardo  berlarian  sepanjang  halaman, menaiki  tangga.
            “ Ibu  sedang  ke Labuan  Batu.”
            Seorang  perempuan  separo  baya  menyambutnya.
            Oh, Mardo  setengah  kecewa  menghempaskan  dirinya  pada  tangga  menatap  ke jalan  setapak  yang  sepi  sembari  mendekap pipi.
            “ Mardo, tasmu,” kakek mengacungkan tas gadis kecil itu.
            Mardo  hanya  diam, masih  tetap  menekap  pipinya, perempuan  yang  selalu  melayani  keperluan  keluarga  itu  bergegas  turun  mengambil  tas  milik  gadis  kecil  itu, lantas  mengatakan  makanan  kesukaan  Mardo  telah  siap di meja  makan.
            “ Kakek  mau  ke  ladang  menengok  nenekmu,ikut?”
            Ikut  kek.
            “ Tapi  Tulang, kata  ibu Bungsu Mardo  tidak  boleh  ke  ladang.”
            Siapa  yang  perduli, Mardo  menuruni  tangga  lantas  lari  ke arah  ladang.
            “ Kek, setiap  hari  ibu  pergi  ke  Labuan  Batu, memangnya  di sana  ramai?”
            “ Iya  ramai, dan  langganan  ibu  sudah  banyak  di sana.”
            “ Ibu  tidak  pernah  mengajakku  ke sana  bahkan  saat  liburan  kemarin.”
            “ Biar  nanti  kita  berdua  ke sana.”
            “ Kakek  mau  ke Labuan  Batu?”
            “ Hanya  mengantarmu.”
            “ Hah, seandainya  ibu  seperti  kakek.”
            Memangnya  kakek  kenapa?
            “ Baik  hati.”
            Kakek  melebarkan  senyumnya.
            “ Selalu  menemani, dan  membelikan  buku  cerita.”
            Hanya  saja….
            Kakek  mengerutkan  keningnya.
            Apa?
            Mardo  mendongakkan  kepala, menatap  wajah  kakek  lantas  mengembangkan senyum sehingga matanya menyipit segaris.
” Kakek  tidak  bisa  bisnis  seperti  nenek  dan  ibu.”
            Kakek  mesem-mesem, membuang  pandangannya  ke sebrang.
            “ Bukan tak bisa cucu cantiku, kakek hanya memberi kesempatan ibu dan nenekmu bertumbuh, berkembang, berwawasan dan pintar. Tidak cuma melayani
suami dan anak-anak lalu mati…biar ibu dan nenekmu punya kebanggaan di mata
suami dan anak-anaknya, juga dirinya sendiri.”
            Mardo mendengarkan kata-kata kakek dengan teliti.
            “ Bahkan istri Nabi kita pun bukan ibu rumah tangga biasa, melainkan
pedagang yang sangat pintar dan berbudi…”
            Wauuu! Kalau begitu kakek yang hebat!
            Sang kakek hanya mangut-mangut mengusap jenggotnya.
            “ Ibu dan nenek juga hebat, kakek tidak secermat dan seteguh mereka
dalam berbisnis, kakek sering kena tipu ha ha ha….”
            “ Itu karena kakek terlalu baik, iya kan?”
            “ Bisa jadi, dan kakek lebih suka menjaga cucu cantik kakek.”
            Mardo melebarkan senyumnya hingga matanya menjadi segaris, lantas
berlarian ke gubuk kecil di tepi kebun, nenek tengah menunggu mereka
sambil membelah pepaya kemerahan yang segar.
            Nenek!!! Aku datang!!!
            “ Sini Cu, lihat nenek memanen banyak pepaya,”
            Wahhh….
             Sudah kehabisan kata-kata, kecuali mengambil potongan pepaya dan
memasukkannya ke mulut, menikmati bertiga hasil kebun di gubuk teduh.  Setelah itu
sepoi angin membuat mata mengantuk serta bunyi kerincing pengusir burung, ketiganya
menyandarkan tubuh dan terlelap di tengah alam.

                                                Daaaaaangggg...                                             
   
                        # Asyiknya memiliki kakek dan nenek yang menjaga dan memanjakan tampa batas, mengasihi saat merajuk, saat menangis...uch selalu indah dengan kakek dan nenek.#